Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.

5 Langkah Agar Membaca Lebih Asyik daripada Scroll Media Sosial

Daftar Isi

Pendahuluan

Berapa lama waktu yang kamu habiskan hari ini untuk scrolling media sosial? Lima menit? Lima belas menit?

Atau jangan-jangan sudah lebih dari satu jam tanpa terasa? Fenomena ini sudah sangat umum.

Bayangkan ini: kamu baru bangun tidur, tangan otomatis meraih ponsel.

Dalam hitungan detik, jempolmu mulai menjelajahi timeline.

Video lucu, cuplikan berita, konten hiburan, semua hadir silih berganti.

Lalu kamu sadar, 45 menit sudah berlalu dan kamu bahkan belum mandi.

Fenomena ini bukan hal asing.

Ini adalah rutinitas baru yang dijalani jutaan orang setiap hari, khususnya generasi muda.

Scrolling kini menjadi kegiatan utama yang menggantikan banyak aktivitas lain, termasuk membaca.

Membaca buku, yang dulu menjadi simbol cerdas dan berwawasan, kini dianggap kuno dan melelahkan.

Buku tak lagi menjadi pilihan utama untuk mencari informasi, apalagi hiburan.

Anak muda lebih memilih video berdurasi 30 detik ketimbang bab pembuka novel.

Mereka lebih tertarik pada thread Twitter daripada esai panjang.

Bahkan, membaca satu halaman utuh terasa lebih sulit daripada menamatkan sepuluh video TikTok.

Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: apakah ini perkembangan yang wajar, atau justru sinyal bahaya bagi budaya literasi kita?

Apakah ini bentuk adaptasi, atau tanda bahwa kemampuan berpikir kritis kita sedang melemah?

Scroll memang menyenangkan. Tapi membaca adalah fondasi berpikir.

Dan jika kita terus menjauh dari buku, lalu ke mana arah literasi generasi ini?

Artikel ini mengajak kamu untuk sejenak berhenti scrolling dan mulai mengintrospeksi literasi apa yang hilang, kenapa penting, dan bagaimana cara mengembalikannya.

Budaya Scroll dan Konten Instan: Nyaman Tapi Dangkal

Kita hidup di era di mana informasi datang tanpa diminta.

Algoritma tahu apa yang ingin kita lihat bahkan sebelum kita sempat mencarinya.

Sekali klik, muncul video lucu. Geser sedikit, ada berita heboh. Lanjut lagi, muncul tips sukses 30 detik ala selebgram.

Artiket Terkait:  Menulis Tanpa Harus Merasa Takut Untuk Salah

Semua terasa menyenangkan, cepat, dan yang paling penting tanpa usaha besar.

Tak heran jika budaya scroll jauh lebih disukai ketimbang membaca buku.

Tapi di balik kenyamanan itu, ada risiko besar yang mengintai.

Konten instan seringkali hanya menyentuh permukaan.

Kita tahu sedikit tentang banyak hal, tapi jarang paham secara mendalam.

Otak kita terbiasa menerima potongan informasi tanpa konteks.

Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, menyusun argumen, dan menganalisis mulai melemah.

Membaca buku melatih kita untuk duduk tenang, merenung, dan terlibat secara aktif.

Itu sebabnya, ketika budaya membaca tergantikan oleh budaya scroll, literasi pun ikut melemah.

Bukan sekadar kemampuan membaca huruf, tetapi juga memahami isi, menilai kebenaran, dan berpikir dengan logis.

Mengapa Membaca Kalah Saing?

Banyak yang menyalahkan teknologi, tapi sebenarnya bukan teknologinya yang salah.

Masalahnya terletak pada bagaimana kita memanfaatkan teknologi.

Buku fisik kalah cepat dari video. Membaca kalah atraktif dari konten visual.

Tapi bukan berarti membaca tidak bisa menarik, kita hanya belum menjadikannya bagian dari gaya hidup digital.

Beberapa penyebab membaca kalah saing antara lain:

  • Kurangnya kebiasaan membaca sejak kecil
  • Pengalaman membaca yang tidak menyenangkan di sekolah
  • Kurangnya contoh dari orang tua atau lingkungan terdekat
  • Akses buku yang terbatas, terutama di luar kota besar
  • Promosi literasi yang kalah gaung dari hiburan digital

Buku dianggap membosankan karena kita tidak pernah benar-benar diajak menikmati proses membaca.

Padahal, membaca bisa sangat menyenangkan asal dimulai dengan cara yang tepat.

Scrolling Itu Menyenangkan, Tapi Membaca Itu Menguatkan

Mari jujur: scroll memang menyenangkan.

Tapi apakah menyenangkan selalu berarti berguna? Kita butuh hiburan, itu jelas.

Tapi kita juga perlu keterampilan hidup yang tidak bisa dipenuhi hanya dengan konten singkat.

Membaca buku bukan soal seberapa banyak halaman yang kamu selesaikan.

Artiket Terkait:  Mengapa Indonesia Butuh Lebih Banyak Penulis Lokal?

Tapi seberapa dalam kamu memahami. Seberapa kuat kamu belajar menyusun argumen.

Seberapa tajam kamu melihat masalah dari berbagai sisi.

Dan yang tak kalah penting: membaca memperkuat empati.

Saat kamu membaca novel, kamu masuk ke kepala orang lain, merasakan dunia dari sudut pandang berbeda.

Itu hal yang sangat langka di tengah budaya online yang serba ego dan serba cepat.

Maka, membaca bukan sekadar aktivitas akademik.

Ia adalah latihan mental. Scrolling menghiburmu. Membaca membentukmu.

Saatnya Introspeksi Literasi

Kita tak sedang menentang kemajuan. Dunia digital membawa banyak manfaat.

Tapi jika kita tidak sadar dan tidak selektif, kita akan kehilangan kemampuan paling dasar: berpikir mendalam.

Introspeksi literasi bukan soal menghentikan scroll, tapi soal menyeimbangkan.

Kita bisa menikmati hiburan digital, tapi juga tetap memberi ruang bagi buku untuk hadir dalam hidup kita.

Pertanyaannya sekarang: apa yang bisa kita lakukan agar literasi kembali hidup, terutama di kalangan anak muda?

5 Langkah Awal Membangun Kembali Literasi di Era Digital

1. Mulai dari Bacaan Ringan dan Sesuai Minat

Tak perlu langsung membaca buku filsafat atau klasik tebal.

Mulailah dari yang ringan dan dekat dengan minatmu seperti novel remaja, komik edukatif, atau biografi tokoh inspiratif.

2. Jadwalkan Waktu Baca, Walau Sedikit

Lima belas menit sebelum tidur lebih baik daripada tidak sama sekali. Disiplin kecil ini akan membentuk kebiasaan besar.

3. Gabung Komunitas Baca atau Buat Sendiri

Diskusi bareng bikin membaca jadi lebih seru. Bisa lewat grup WhatsApp, Discord, atau Instagram Live bareng teman.

4. Gunakan Format yang Nyaman: E-book atau Audiobook

Kalau kamu lebih suka dengar, cobalah audiobook. Kalau suka baca di HP, e-book banyak tersedia gratis.

5. Kurangi Scroll, Tambah Fokus

Buat aturan pribadi: misalnya 30 menit tanpa ponsel di pagi hari untuk membaca. Rasakan bedanya dalam dua minggu.

Artiket Terkait:  Trik Agar Tulisan Dibaca Oleh Banyak Orang

Peran Sekolah, Keluarga, dan Media Sosial

Perubahan tidak bisa dibebankan pada individu saja.

Sekolah perlu memberi ruang lebih luas untuk membaca di luar tugas akademik.

Perpustakaan harus lebih hidup dan bersahabat. Keluarga juga bisa jadi contoh: orang tua yang gemar membaca akan lebih mudah menulari kebiasaan itu.

Media sosial juga bisa dimanfaatkan. Banyak akun literasi yang kreatif, membahas buku dengan gaya ringan.

Influencer bisa ikut kampanye membaca, membuat ulasan buku yang relate dengan generasi muda.

Semakin sering buku muncul di timeline, semakin besar peluang minat baca tumbuh kembali.

Kembali ke Buku, Bukan Mundur ke Belakang

Kita hidup di tengah arus informasi tercepat sepanjang sejarah manusia.

Setiap hari, jutaan konten berlalu di hadapan mata kita.

Tapi dari semua itu, berapa banyak yang benar-benar kita pahami? Berapa yang memberi dampak nyata?

Scrolling membuat kita merasa terhibur, tapi tidak selalu membuat kita lebih cerdas.

Ia menyenangkan, tapi sering menguras waktu tanpa disadari.

Di sisi lain, membaca—meski butuh usaha dan ketenangan—memberi kita kesempatan untuk memahami lebih dalam, berpikir lebih jernih, dan melihat dunia dari banyak sudut pandang.

Maka, bukan berarti kita harus berhenti scrolling. Tidak.

Kita hanya perlu menyadari batas, menyeimbangkan antara konsumsi cepat dan refleksi mendalam.

Kita tetap bisa menikmati video lucu atau thread inspiratif, asal tidak melupakan buku sebagai sumber pengetahuan yang tak tergantikan.

Literasi bukan hanya soal bisa membaca, tetapi soal mau membaca dan mampu memahami.

Saat kita mengabaikan buku, kita sebenarnya sedang mengabaikan potensi terbaik dalam diri kita.

Jadi, mari mulai dari diri sendiri. Sisihkan waktu, temukan buku yang kamu suka, baca perlahan.

Bukan karena kewajiban, tapi karena kamu tahu—masa depan yang cerdas dimulai dari halaman yang dibaca hari ini.

Share

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on telegram
Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.
Artikel Terkait