Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.

5 Tanda Literasi Digital Rendah, Cek Kebiasaanmu!

Daftar Isi

Pendahuluan

Banyak orang merasa dirinya sudah melek literasi digital.

Alasannya sederhana, mereka bisa mengoperasikan smartphone, aktif di media sosial, tahu cara membuat presentasi, dan mampu mengunduh aplikasi terbaru.

Tapi, apakah semua itu cukup untuk disebut memiliki literasi digital yang baik?

Sayangnya, jawabannya tidak selalu. Melek teknologi dan literasi digital adalah dua hal yang berbeda.

Yang satu soal kemampuan teknis, yang lain menyentuh cara berpikir, cara menilai informasi, dan cara berperilaku secara etis di ruang digital.

Keduanya penting, tetapi literasi digital justru lebih menentukan bagaimana kita menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.

Di era ketika informasi beredar lebih cepat daripada klarifikasinya, literasi digital menjadi modal utama untuk tetap waras, kritis, dan tidak mudah diprovokasi.

Namun faktanya, banyak dari kita yang terjebak dalam kebiasaan digital yang justru memperparah krisis literasi.

Karena itu, sebelum kita sibuk menyalahkan internet yang “berisik” atau medsos yang “toxic”, mari mulai dengan refleksi sederhana: Apakah kebiasaan digital kita sudah sehat?

Sudahkah kita bijak dalam menyaring dan menyebarkan informasi?

Apa Itu Literasi Digital? Jangan Asal Pakai Istilah!

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami terlebih dahulu: apa itu literasi digital?

Literasi digital bukan hanya kemampuan untuk menggunakan perangkat atau aplikasi.

Bukan sekadar tahu cara membuat akun, mengunggah foto, atau menyusun presentasi.

Literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, memahami, mengevaluasi, dan mengelola informasi di dunia digital secara etis dan kritis.

Dengan literasi digital, kita mampu:

  • Menilai kualitas informasi yang kita temui
  • Menyaring mana yang fakta, mana yang manipulasi
  • Menanggapi konten secara logis, bukan emosional
  • Berinteraksi secara sehat di ruang digital
Artiket Terkait:  Rekomendasi Buku Lokal untuk Menemani ”Me Time”

Tanpa kemampuan ini, kita hanya akan menjadi pengguna pasif yang mudah terbawa arus informasi.

Terprovokasi oleh judul clickbait, atau bahkan ikut menyebarkan berita palsu tanpa sadar.

Jadi, literasi digital bukan tentang tahu “cara menggunakan”, tapi soal “apa yang kamu lakukan setelah menggunakannya.” Dan di sinilah peran kebiasaan harian menjadi sangat krusial.

Cek Kebiasaanmu! Tanda-Tanda Literasi Digital Masih Lemah

Kamu mungkin merasa dirimu aktif dan produktif di dunia digital.

Tapi apakah kamu benar-benar bijak? Yuk, cek daftar kebiasaan di bawah ini.

Jika kamu merasa pernah atau sering melakukannya, itu bisa jadi sinyal bahwa literasi digitalmu masih perlu ditingkatkan.

  1. Membagikan Tanpa Membaca

Kamu lihat judul yang dramatis, langsung share ke grup WhatsApp.

Padahal kamu belum membaca isi artikelnya secara lengkap. Judul bisa saja menyesatkan atau tidak sesuai dengan isinya.

Kebiasaan ini rentan menjadikanmu bagian dari rantai penyebar hoaks.

  1. Percaya Tanpa Periksa Sumber

Kamu membaca sebuah “fakta” dari akun yang tak kamu kenal, lalu langsung mempercayainya.

Dan tidak mencari tahu siapa yang mengunggahnya, tidak memeriksa apakah akun itu kredibel, dan bahkan tidak mengecek apakah klaim tersebut didukung oleh rujukan ilmiah.

  1. Komentar Saat Emosi Masih Tinggi

Kamu membaca komentar orang lain, merasa tersinggung, lalu langsung membalas dengan emosi.

Serta tidak mengecek konteks atau berniat berdiskusi.

Akibatnya, konflik digital pun makin panjang dan tidak produktif.

  1. Memburu Viral, Mengabaikan Nilai

Kamu cenderung menyukai dan menyebarkan konten yang sensasional.

Semakin aneh, marah, atau kontroversial kontennya, semakin kamu anggap “menarik”.

Kamu jarang meluangkan waktu untuk membaca konten yang membangun, reflektif, atau edukatif.

  1. Tidak Punya Batasan Digital

Kamu scrolling tanpa arah, berpindah dari satu video ke video lain, tanpa tahu apa yang kamu cari.

Artiket Terkait:  Sebelum Terbit, Wajib Tahu 2 Tipe Penerbit dan Hak Cipta Buku

Dan merasa sibuk online, tapi setelah itu merasa kosong. Ini tanda kamu menjadi konsumen pasif, bukan pengguna aktif.

Jika beberapa dari kebiasaan ini terasa akrab, tenang kamu tidak sendirian.

Justru dengan menyadarinya, kamu sudah mengambil langkah awal untuk meningkatkan kualitas interaksimu di dunia digital.

Mengapa Literasi Digital Itu Penting dan Mendesak

Dulu, kita belajar bahwa informasi adalah kekuatan.

Tapi sekarang, informasi juga bisa menjadi ancaman.

Ketika informasi tersebar lebih cepat dari klarifikasinya, yang bisa menyelamatkan kita adalah kemampuan untuk menyaringnya.

Tanpa literasi digital:

  • Kita mudah termakan hoaks, terutama yang diselipkan dalam narasi emosional.
  • Kita berisiko terlibat dalam disinformasi, bahkan tanpa sadar.
  • Kita cenderung ikut menyebarkan kebingungan, bukan menyelesaikannya.
  • Kita terjebak dalam ruang gema digital, hanya mengikuti opini yang kita suka, bukan fakta yang benar.

Sebaliknya, dengan literasi digital yang kuat:

  • Kita lebih sadar terhadap apa yang kita baca dan bagikan
  • Kita berpikir dua kali sebelum klik “share
  • Kita tahu bahwa tidak semua informasi harus direspons, apalagi dibalas dengan emosi
  • Kita jadi kontributor, bukan hanya konsumen

Menulis: Latihan Literasi Paling Ampuh

Salah satu cara terbaik untuk melatih literasi digital adalah dengan menulis.

Mengapa? Karena menulis bukan hanya kegiatan teknis, tapi proses berpikir.

Saat kamu menulis:

  • Kamu menyusun ulang informasi yang kamu terima
  • Kamu menyaring dan memilih mana yang penting
  • Kamu memaksa dirimu untuk berpikir jernih
  • Kamu belajar menyampaikan ide secara runtut dan logis

Menulis juga mendorongmu menjadi pengguna aktif, bukan sekadar penikmat konten.

Kamu mulai menciptakan. Kamu tidak hanya bereaksi, tapi merespons dengan alasan yang jelas.

Dan kabar baiknya, kamu tidak harus menulis panjang atau rumit. Kamu bisa mulai dari:

  • Jurnal pribadi
  • Refleksi dari konten yang kamu baca atau tonton
  • Opini pendek di media sosial
  • Catatan harian tentang pengalaman digitalmu
Artiket Terkait:  Nasmedia dan STIEM Bongaya Selenggarakan Workshop Penulisan Buku Ajar

Kesimpulan

Kita hidup di zaman di mana informasi mudah diakses, tapi tidak semua orang mampu memprosesnya dengan benar.

Kita punya teknologi yang hebat, tapi apakah kita juga memiliki kesadaran yang cukup?

Literasi digital adalah kunci.

Ia hanya tumbuh jika kita berani bertanya, belajar memilah, dan aktif menulis atau merespons secara sadar.

Maka sekarang, bukan saatnya hanya sekadar mengakses.

Saatnya kamu beraksi.

Baca lebih teliti. Tulis dengan tanggung jawab. Sebarkan yang bermanfaat.

Share

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on telegram
Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.
Artikel Terkait