Pendahuluan
Setiap hari, kita diserbu ribuan konten dalam berbagai bentuk.
Video singkat, meme viral, potongan berita, dan caption bombastis dengan cepat membanjiri layar gawai kita.
Tanpa disadari, kita mengonsumsi semuanya pagi, siang, malam, tanpa jeda, tanpa refleksi.
Kita terbiasa menyimak tanpa menyaring, membagikan tanpa memverifikasi, bahkan mempercayai informasi tanpa berpikir panjang.
Budaya digital yang serba cepat memang memberikan kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi.
Namun, kemudahan ini juga membawa risiko: menumpulkan kepekaan berpikir kritis dan mendorong kita menjadi konsumen pasif yang rentan terhadap misinformasi.
Sayangnya, banyak orang kini menilai kebenaran dari seberapa sering sebuah konten dibagikan, bukan dari seberapa valid sumbernya.
Mereka lebih mudah percaya karena “viral”, bukan karena “benar”.
Di sinilah letak persoalan serius. Ketika literasi hanya berhenti pada membaca tanpa analisis, kita tidak lagi berpikir kita hanya ikut arus.
Padahal, di era digital yang begitu dinamis, literasi seharusnya tidak hanya berarti bisa membaca atau mengakses informasi.
Literasi sejati menuntut kita untuk mampu menyerap, memilah, dan mengolah informasi secara kritis lalu menyampaikannya dengan cara yang konstruktif.
Salah satu cara paling efektif untuk melatih ketiganya adalah dengan menulis.
Menulis Bukan Pilihan, Tapi Kebutuhan
Menulis sering dianggap sebagai aktivitas yang hanya relevan bagi kalangan tertentu: akademisi, wartawan, atau content creator profesional.
Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Menulis adalah keterampilan dasar yang seharusnya dimiliki siapa saja, terutama di zaman yang penuh dengan informasi seperti sekarang.
Ketika kita menulis, kita tidak hanya menuangkan pikiran, tetapi juga secara otomatis memilah informasi yang kita miliki.
Kita mempertanyakan kevalidan sumber, menyusun argumen dengan logis, dan merumuskan pesan yang ingin disampaikan dengan cermat.
Proses ini melatih kita untuk berpikir secara sistematis dan bertanggung jawab terhadap apa yang kita bagikan.
Dengan kata lain, menulis bukan hanya ekspresi, tapi juga proses berpikir mendalam.
Ia memaksa kita untuk memperlambat, merenung, dan menyaring.
Itulah sebabnya menulis dan memilah informasi menjadi begitu penting saat ini.
Bukan sekadar aktivitas akademik, tapi kebutuhan mendesak dalam menghadapi derasnya banjir informasi.
Konsumsi Pasif: Nyaman Tapi Berbahaya
Teknologi memberi kita akses instan ke semua informasi yang kita butuhkan.
Tapi akses yang terlalu mudah ini justru membuat kita malas menyaring.
Kita membaca sepintas, lalu langsung percaya. Lalu membagikan berita yang belum kita pahami sepenuhnya.
Kita menyebar kutipan tanpa tahu konteks aslinya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, kita tidak merasa bersalah melakukannya.
Kita lebih memilih percaya daripada memverifikasi. Kita lebih suka cepat daripada benar.
Akibatnya, hoaks, ujaran kebencian, dan informasi yang menyesatkan mudah menyebar.
Bahkan seringkali berasal dari orang-orang berpendidikan tinggi sekalipun.
Budaya ini perlu diubah. Dan cara paling sederhana untuk melakukannya adalah dengan berhenti hanya menyerap, dan mulai menciptakan.
Kita perlu bertransformasi dari konsumen menjadi kontributor.
Menulis: Bentuk Literasi yang Terlupakan
Sementara banyak orang sibuk membuat konten visual, menulis sering dianggap kuno dan melelahkan.
Padahal, justru melalui menulislah kita bisa melatih ketajaman berpikir.
Kita belajar menyusun ide, menyaring informasi, dan menyampaikannya dengan cara yang terstruktur dan bertanggung jawab.
Lebih dari itu, menulis bisa memberikan manfaat besar lainnya:
- Melatih logika berpikir, karena kita harus menyusun kalimat secara runtut dan koheren.
- Meningkatkan kemampuan komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
- Membangun rekam jejak intelektual, terutama di dunia digital yang tidak pernah lupa.
Sayangnya, banyak orang mengira menulis harus selalu panjang, ilmiah, atau rumit.
Padahal, kamu bisa mulai dari yang sederhana: menulis jurnal harian, membuat catatan refleksi, atau sekadar merespons bacaan hari ini dengan sudut pandangmu sendiri.
Mengapa Kemampuan Memilah Informasi Sangat Penting?
Saat ini, informasi bukan lagi barang langka. Justru sebaliknya—ia melimpah ruah.
Tantangannya bukan lagi soal bagaimana mendapatkan informasi, melainkan bagaimana memilahnya.
Kita dikelilingi oleh berbagai jenis konten: yang valid, yang palsu, yang menyesatkan.
Bahkan yang sengaja dibuat untuk memanipulasi emosi kita. Tanpa kemampuan memilah, kita akan mudah:
- Termakan hoaks.
- Tertipu headline clickbait.
- Menjadi bagian dari penyebar disinformasi.
Memilah informasi adalah bentuk tanggung jawab moral.
Kita tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tapi juga pada orang-orang yang mungkin terpengaruh oleh informasi yang kita bagikan.
Maka, penting untuk selalu bertanya sebelum menyebarkan:
- Apakah ini benar?
- Apa sumbernya?
- Apakah ini bermanfaat atau justru menyesatkan?
Tiga Langkah Sederhana Menuju Literasi Aktif
Kamu tidak perlu menjadi penulis profesional untuk bisa mulai.
Berikut tiga langkah sederhana yang bisa kamu lakukan mulai hari ini:
1. Tulis Kembali Apa yang Kamu Pelajari
Apa pun yang kamu pelajari hari ini dari buku, artikel, video edukatif, atau percakapan, cobalah menuliskannya ulang dengan bahasamu sendiri.
Tulis 2–3 paragraf. Cara ini akan melatih otakmu memahami dan mengolah informasi secara lebih dalam.
2. Periksa Informasi Sebelum Dibagikan
Jangan langsung klik tombol “share” hanya karena kontennya menarik atau emosional. Tanyakan dulu:
- Siapa penulisnya?
- Apa motivasi di balik konten ini?
- Apakah ada data pendukung yang valid?
Langkah kecil ini bisa mencegah banyak kesalahan informasi menyebar lebih jauh.
3. Ciptakan Ruang Ekspresi Sendiri
Buat ruang untuk menulis dan mengekspresikan ide.
Bisa berupa blog pribadi, jurnal digital, atau catatan di media sosial. Tak perlu sempurna. Yang penting konsisten.
Semakin sering kamu menulis, semakin tajam pula caramu berpikir dan berbicara.
Literasi Digital: Lebih dari Sekadar Bisa Pakai Teknologi
Banyak orang menganggap dirinya “melek digital” hanya karena bisa menggunakan media sosial atau mengedit video.
Tapi literasi digital lebih dari itu. Ia mencakup:
- Kemampuan menganalisis isi konten.
- Memahami konteks sosial dan budaya dari informasi.
- Menyampaikan kembali informasi secara kritis dan etis.
Tanpa keterampilan ini, kita hanya akan menjadi korban algoritma mudah diarahkan, mudah dikendalikan, dan mudah diprovokasi.
Oleh karena itu, menulis dan memilah informasi adalah bentuk pertahanan intelektual di era digital.
Menjadi Kontributor: Karena Suaramu Penting
Bayangkan jika setiap orang tidak hanya membaca, tapi juga menulis.
Tidak hanya menyerap informasi, tapi juga menyaring dan menambah nilai atas informasi itu.
Kita tidak perlu menunggu jadi ahli. Bahkan satu paragraf refleksi, satu catatan harian, atau satu opini pendek di blog bisa membuka perspektif baru bagi orang lain.
Tulisanmu, sekecil apa pun, bisa menjadi suara jernih di tengah bisingnya arus informasi.
Maka jangan ragu. Jadikan menulis sebagai bentuk kontribusimu.
Karena di era digital, diam berarti hilang, dan menulis adalah cara terbaik untuk tetap terdengar.
Kesimpulan
Kita tidak bisa mengendalikan semua informasi di luar sana.
Tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya.
Dengan menulis dan memilah, kita menjadikan diri kita bagian dari solusi—bukan bagian dari masalah.
Mulailah hari ini. Tulis satu ide. Refleksikan satu bacaan.
Evaluasi satu informasi. Bagikan sesuatu yang bermakna.
Karena di tengah banjir konten, yang paling dibutuhkan adalah suara yang jernih.
Dan suara itu bisa datang dari kamu.