Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.

7 Alasan Mengapa Generasi Muda Mulai Meninggalkan Buku

Daftar Isi

Pendahuluan

Minat membaca generasi muda semakin hari tampaknya makin melemah.

Tak bisa dipungkiri, mereka lebih sering terlihat menatap layar ponsel daripada membuka halaman buku.

Meski dunia digital menawarkan akses tak terbatas ke berbagai informasi, nyatanya konsumsi bacaan mendalam tetap kalah dari konten-konten instan.

Pertanyaannya, mengapa generasi muda mulai meninggalkan buku?

Apakah mereka tidak lagi tertarik membaca? Ataukah ada faktor lain yang membuat buku tak lagi menjadi sahabat setia?

Artikel ini akan mengupas tujuh alasan utama yang menjelaskan fenomena ini secara mendalam.

1. Konten Instan Lebih Menarik dan Cepat Dicerna

Salah satu alasan paling dominan adalah kehadiran konten digital yang serba cepat, instan, dan menarik secara visual.

TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts menyajikan informasi atau hiburan dalam waktu singkat, biasanya di bawah satu menit.

Sementara itu, membaca buku membutuhkan waktu, fokus, dan kesabaran.

Proses memahami alur cerita, tokoh, dan pesan di dalamnya tidak bisa diselesaikan dalam satu kedipan mata.

Inilah mengapa banyak anak muda lebih memilih menonton video singkat daripada membaca bab demi bab.

Transisi dari budaya baca ke budaya scroll memang terjadi secara masif.

Daya tahan atensi generasi muda semakin menurun karena terbiasa mengonsumsi informasi cepat.

Akibatnya, buku dianggap terlalu lambat, membosankan, dan tidak praktis.

Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa justru dalam proses membaca yang lambat itulah terbentuk kemampuan berpikir mendalam, reflektif, dan kritis atau sesuatu yang tak bisa dibangun hanya dengan menonton video pendek.

2. Sistem Pendidikan yang Minim Membentuk Cinta Baca

Sekolah semestinya menjadi tempat subur untuk menumbuhkan cinta baca.

Namun faktanya, sistem pendidikan kita lebih banyak mendorong siswa untuk membaca karena tuntutan nilai, bukan karena kebutuhan atau minat.

Banyak siswa membaca hanya untuk menjawab soal, bukan untuk memahami makna.

Mereka didorong untuk menghafal, bukan mengeksplorasi.

Buku pun dijadikan alat uji, bukan alat tumbuh. Akibatnya, sejak dini membaca identik dengan tekanan, bukan kenikmatan.

Artiket Terkait:  Saatnya Kembali Menulis dan Memilah Informasi

Lebih buruk lagi, guru seringkali hanya menjadikan buku sebagai pelengkap materi, bukan sebagai sumber inspirasi diskusi.

Padahal, jika dibiasakan membaca di luar kewajiban, siswa bisa melihat bahwa buku bukanlah beban. Ia bisa menjadi jendela dunia yang menarik untuk dibuka.

Jika sistem pendidikan terus mempertahankan pendekatan seperti ini, jangan heran jika generasi muda makin jauh dari buku.

Mereka tidak pernah diajarkan bagaimana menikmati proses membaca dengan sukarela dan penuh rasa ingin tahu.

3. Kurangnya Teladan Membaca di Lingkungan Terdekat

Anak muda tumbuh dan belajar dari apa yang mereka lihat.

Jika di rumah mereka jarang melihat orang tua membaca buku, dan di sekolah tidak ada budaya literasi yang kuat, maka kebiasaan membaca pun tidak akan terbentuk secara alami.

Orang tua yang lebih sibuk dengan ponsel daripada buku memberi pesan diam: membaca tidak penting.

Guru yang tidak pernah merekomendasikan bacaan di luar buku teks memberi kesan bahwa buku hanya untuk pelajaran.

Di sisi lain, ketika anak berada dalam lingkungan yang terbiasa membaca, mereka akan ikut terbawa.

Bahkan tanpa disuruh, mereka cenderung meniru kebiasaan itu.

Maka, menghadirkan teladan sangat penting.

Kita tidak bisa menuntut anak muda membaca jika kita sendiri tidak pernah terlihat membaca.

Generasi muda butuh role model yang menunjukkan bahwa membaca bukan aktivitas kuno, melainkan gaya hidup orang-orang cerdas dan kreatif.

4. Akses Buku yang Masih Terbatas dan Tidak Merata

Di era digital, akses informasi memang melimpah. Namun, akses terhadap buku fisik maupun digital yang berkualitas belum tentu merata.

Di banyak daerah, perpustakaan masih minim koleksi. Buku yang tersedia pun kadang tidak relevan dengan minat anak muda.

Harga buku juga menjadi kendala. Tidak semua pelajar mampu membeli buku-buku terbaru, apalagi yang bersifat hiburan seperti novel atau komik.

Sementara itu, sistem peminjaman online atau e-book belum sepenuhnya dikenal dan digunakan secara luas, terutama di luar kota besar.

Artiket Terkait:  Atasi Burnout Menulis! Ini Cara Efektif Mengembalikan Semangat!

Bagi sebagian anak muda, membaca terasa jauh dari jangkauan.

Mereka ingin membaca, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Bahkan saat ingin mencoba, mereka kebingungan mencari buku yang sesuai dengan usia, minat, atau kebutuhan mereka.

Di sinilah pentingnya kolaborasi antara sekolah, perpustakaan, dan komunitas literasi untuk memperluas akses dan distribusi buku.

Tanpa itu, buku akan terus menjadi barang asing bagi sebagian besar generasi muda.

5. Buku Kurang Menyesuaikan Diri dengan Gaya Hidup Anak Muda

Tidak semua anak muda meninggalkan buku karena malas.

Banyak di antara mereka yang sebenarnya tertarik membaca, tapi tidak menemukan buku yang sesuai dengan kehidupan mereka.

Bahasa yang kaku, cerita yang jauh dari realitas, atau tampilan yang tidak menarik menjadi penghalang tersendiri.

Anak muda hidup dalam dunia yang dinamis.

Mereka menyukai konten yang relate, visual yang segar, dan cerita yang dekat dengan pengalaman mereka.

Sayangnya, sebagian buku pelajaran atau bacaan umum masih disajikan dengan gaya formal yang sulit dicerna.

Selain itu, buku seringkali tidak hadir di platform yang mereka gunakan sehari-hari.

Ketika anak muda lebih sering berada di aplikasi digital, buku pun seharusnya ikut masuk ke sana.

E-book interaktif, audio book, bahkan cerita bersambung di aplikasi seperti Wattpad terbukti lebih menarik bagi mereka.

Jika buku ingin tetap relevan, maka ia harus beradaptasi.

Bukan hanya dari segi konten, tapi juga cara penyampaian dan pengalaman membaca yang sesuai dengan kebiasaan digital generasi muda.

6. Tidak Ada Ruang Diskusi Setelah Membaca

Salah satu alasan membaca terasa membosankan adalah karena aktivitas itu sering bersifat individual dan sepi.

Setelah membaca, tidak ada ruang untuk berdiskusi atau membagikan insight.

Padahal, berbagi pandangan setelah membaca justru bisa memperdalam makna dan membuat kegiatan membaca terasa lebih hidup.

Generasi muda adalah generasi yang suka berbagi.

Mereka gemar mengekspresikan pendapat, mengomentari, bahkan menciptakan konten sendiri.

Jika membaca bisa dikaitkan dengan aktivitas ini, maka mereka akan melihat membaca bukan sekadar aktivitas diam, tapi sesuatu yang bisa mereka rayakan dan diskusikan.

Artiket Terkait:  6 Langkah Praktis Meningkatkan Literasi Digital

Sayangnya, ruang-ruang diskusi buku masih minim. Klub baca jarang ditemukan di sekolah atau kampus.

Media sosial lebih banyak diisi tren hiburan daripada diskusi literasi.

Padahal, jika ada forum yang memungkinkan mereka membahas buku dengan gaya yang santai dan kekinian, minat membaca bisa tumbuh dengan sendirinya.

7. Pola Hidup yang Padat dan Kurangnya Manajemen Waktu

Terakhir, banyak anak muda merasa tidak punya waktu untuk membaca.

Jadwal sekolah yang padat, kegiatan ekstrakurikuler, les, hingga aktivitas digital membuat waktu mereka habis sebelum sempat membuka satu halaman buku.

Namun, kenyataannya bukan soal waktu, tapi soal prioritas.

Kita semua punya 24 jam, dan bagaimana kita mengaturnya tergantung pada apa yang kita anggap penting.

Anak muda sering kali tidak memprioritaskan membaca karena tidak melihat manfaat langsungnya.

Mereka merasa membaca tidak memberi dampak secepat bermain game atau menonton video.

Padahal, jika mereka menyadari bahwa membaca bisa memberi keunggulan akademik, memperkaya wawasan, bahkan membantu karier di masa depan, mereka akan lebih termotivasi meluangkan waktu.

Solusinya? Mulai dari hal kecil. Cukup 10 menit sehari membaca bisa menjadi awal yang baik.

Saatnya Membalikkan Arah

Generasi muda memang sedang menjauh dari buku, tapi bukan berarti mereka anti membaca.

Mereka hanya belum menemukan cara yang tepat untuk mencintai buku dan memiliki minat membaca kembali.

Dengan memahami tujuh alasan di atas, kita bisa mencari strategi yang lebih jitu untuk mengembalikan budaya baca di kalangan anak muda.

Mulai dari lingkungan, pendidikan, akses buku, hingga pemanfaatan teknologi semuanya harus bergerak serempak.

Buku tidak boleh tertinggal. Ia harus bertransformasi, hadir lebih fleksibel, dan mendekati pembaca muda dengan cara yang lebih bersahabat.

Karena pada akhirnya, bangsa yang maju adalah bangsa yang masyarakatnya memiliki minat membaca.

Dan masa depan bangsa, ada di tangan generasi muda.

Share

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on telegram
Ayu Indah Lestari
Ayu Indah Lestari
Penulis buku Meramu Rindu, Lintas Waktu, Dialektika Ruang Maya dan Sepasang (R)asa. Aktif dalam dunia literasi dan pendidikan sejak tahun 2012 serta saat ini bekerja sebagai asisten editor di Penerbit Nasmedia.
Artikel Terkait