Syarif Hidayat Siregar, S.H., M.H.
Editor: Tari Lestari
Rp.85.000
Deskripsi
Di tengah gempuran modernitas dan perubahan zaman, ada dua hal yang tetap tak lekang oleh waktu dalam dunia peradilan, yaitu integritas dan independensi hakim. Dua pilar fundamental ini telah menjadi kompas moral bagi para penegak keadilan sejak berabad-abad silam. Keduanya tak hanya menjaga marwah peradilan, tetapi juga menjadi penopang kepercayaan publik terhadap institusi yang disebut-sebut sebagai benteng terakhir keadilan. Di pusat institusi ini berdiri sosok hakim, yang secara etimologis berasal dari akar kata Arab “hakama,” yang bermakna qadhâ.1 Dalam praktik peradilan Islam, istilah qâdhî dan hakim digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pribadi yang diberi otoritas memutuskan perkara, namun dengan penekanan makna yang sedikit berbeda. Qâdhî menekankan fungsi penetapan keputusan2, sementara hakim menekankan aspek kebijaksanaan dan keadilan.3 Dualitas konseptual ini menyiratkan bahwa dalam tradisi Islam, hakim tidak hanya dipandang sebagai pejabat teknis yang mengaplikasikan hukum secara mekanis, tetapi juga sebagai pemegang amanah keadilan serta kebijaksanaan moral-spiritual. Kisah tentang pentingnya integritas dan independensi hakim telah terukir dalam lembar-lembar sejarah peradilan Islam. Pada abad ke-3 Hijriah, seorang ahli fikih mazhab Hanafi bernama al-Khassaf (w. 261 H/875 M) menuangkan pemikirannya tentang konsep etika hakim dalam sebuah karya monumental: Adabu al-Qâdî. Kitab ini bukan sekadar pedoman prosedural, melainkan cermin yang memantulkan betapa tingginya standar etika yang harus dijunjung oleh seorang qâdî (hakim).
Halaman | Penerbit |
xx + 248 hlm | PT. Nas Media Indonesia |
ISBN | E-ISBN |
XXXXXXXXXXXXXXXXXXX | XXXXXXXXXXXXXXXXXXX |
Ukuran | Bahasa |
15,5 x 23 cm | Indonesia |